Segala sesuatu yang hadir di dunia maya tak bisa dilepaskan dari konsep dualisme. Hanya dengan pengetahuan (mata) yang sejati akan mampu untuk menghancurkan efek dualisme dan memunculkan kebenaran. Ini sebabnya Ilmu pengiwa dan penengen akan selalu seiring sejalan.
Pengiwa dan Penengen, adalah bagian dari dualisme yang tidak bisa dielakkan. Dalam ritual spiritual akan selalu diajarkan, bahwa dari gelap akan datang terang dan begitu juga sebaliknya, karena mereka selalu mempengaruhi satu sama lain. Bila ritual penengen selalu dianggap baik (positif) maka pengiwa akan selalu dianggap buruk (negatif), padahal mereka berdua hasil produksi maya yang bisa dimanfaatkan untuk kemajuan spiritual .
Ritual yang menggunakan objek berupa darah, mayat dan tengkorak, secara harfiah tersedia bagi mereka yang ingin mendapatkan hasil yang cepat. Praktik semacam itu adalah bagian dari ajaran Vama Marga, alias Pengiwa, yang merupakan lawan dari Dakshina Marga, atau penengen.
Bila Dakshina Marga ditujukan bagi mereka yang mencari kemajuan spiritual dengan jalan aman, stabil dan mengurangi akan bahaya kemunduran. Sedangkan Vama Marga (pengiwa) dikenal juga dengan sebutan Zhighra, Ugra dan Tivra, atau dengan kata lain cepat, mengerikan dan intens. Di jalan pengiwa atau Vama Marga peluang tersesat dan terjerumus sangatlah besar, kecuali bila praktisi memiliki perlindungan dari seorang guru spiritual yang baik, ini juga yang akhirnya menyebabkan, bahwa Pengiwa adalah aliran ilmu sesat, karena faktanya memang banyak orang yang tersesat, karena mempelajari ilmu ini secara otodidak, tanpa bimbingan yangbenar seorang guru yang kompeten.
Seperti halnya ritual seks, yang banyak beredar namun tidak memiliki pemahaman yang cukup, mempelajari dengan cara yang benar, membuat aliran Tantra terkenal sebagai bagian dari Vama Marga atau pengiwa. Ritual di mana seks sebagai objek, diketahui sebagai ritual Panchamakara, sebenarnya terdiri dari tiga jenis versi yang akan saya jelaskan dibawah ini, dan untuk diketahui hanya dalam satu jenis versi, hubungan seksual yang sebenarnya dilakukan.
- Versi pertama ditujukan untuk golongan orang Tamasic, Tamas artinya kelambanan mental atau kebodohan. Sedangkan intensitas dari lima (Pancha) berarti lima barang sebagai objek ritual yaitu, daging, ikan, biji-bijian kering, anggur dan seks. Kelima objek ini dianggap mampu, untuk menguasai kebodohan pikiran melalui jalan rangsangan.
Bila orang yang akan mempelajari praktek ini, dia harus benar benar sudah dipersiapkan dengan matang, peningkatan energi mental ini bisa membantu evolusi spiritualnya. Namun bagi orang yang belum matang dalam persiapannya, akan dengan mudah dikalahkan oleh rangsangan dan jatuh ke dalam kesenangan yang menyesatkan.
- Versi kedua ditujukan untuk golongan orang Rajas, yang artinya memiliki aktivitas mental, memiliki pikiran yang aktif namun, harus disalurkan dengan benar. Mereka hanya akan membutuhkan lebih sedikit rangsangan, namun lebih banyak cara mengontrol, dan dengan memanfaatkan jahe, lobak, biji-bijian rebus (sebagai lawan dari kering), santan dan juga bunga di dalam praktek Panchamakara mereka.
- Versi ketiga ditujukan untuk orang Sattvic, mereka secara alami menikmati Sattva (keseimbangan pikiran dan kewaspadaan) yang cukup, dan tidak memerlukan bantuan eksternal untuk menjalankan ritual. Mereka memanfaatkan daging keheningan (menjaga lidah), memakan ikan (pengendalian nafas sebagai teknik konsentrasi), anggur (mabuk akan ke-Tuhanan), dan hubungan ego seseorang dengan Yang Mutlak.
Terminologi bahasa Sansekerta yang digunakan untuk menggambarkan Panchamakara, yaitu dengan cara menyembunyikan makna ini di bawah eksteriornya. Contohnya, “ikan” adalah arti dari kontrol napas, karena dua lubang hidung manusia disebut dalam terminologi Yoga sebagai sungai, karena mereka terus mengalir (yang kanan disebut Gangga dan yang kiri sebagai Yamuna).
Ini sama seperti ikan yang sedang berenang di sungai, teknik bernapas melalui lubang hidung secara bergiliran dari yang kanan kemudian ke kiri dan kemudian mulai untuk menahan napas (Kevala Kumbhaka) sama dengan “memakan ikan”.
Panchamakara hanyalah salah satu dari sekian banyak ritual Tantra yang sering disalahpahami sebagai jalur pengiwa, tetapi mampu menggambarkan dengan apik, konsep dasar dari Tantra yaitu mengenai pengenalan Bhuta Shuddhi. Wujud dari Alam semesta adalah hasil permutasi dari lima Elemen Besar: Bumi, Air, Udara, Api dan Eter, masing-masing setara dengan keadaan materi padat, cair, dan gas, panas (mengubah materi dari satu keadaan ke keadaan lain), dan medan dimana semua kegiatan berlangsung.
Agar bisa tercapai keselarasan universal, maka ke lima elemen ini harus diselaraskan. Panchamakara adalah cara yang cepat dan intens untuk melakukan proses ini: daging simbol dari Bumi, ikan untuk Air, anggur untuk Api, biji-bijian untuk Udara, dan seks untuk Eter.
Ketika manusia mampu untuk mencapai tahap keseimbangan, di mana input (elemen) itu sendiri tidak lagi menyebabkan ketidakseimbangan dari kesadaran atau metabolisme, maka akan sangat kecil kemungkinannya bahwa fluktuasi lain, dari lima elemen tersebut akan mampu untuk menyebabkan ketidakharmonisan, dan kondisi kesehatan yang diharapkan telah tercapai, karena kesehatan adalah keseimbangan dan penyakit adalah ketidakseimbangan. Kesehatan ini akan jauh lebih permanen daripada kesehatan biasa.
Agar mampu untuk menangani lima elemen ini, meskipun penting dalam setiap sadhana Tantra, namun otoritas Tantra menganjurkan personifikasi belajar dengan beriringan. Dibandingkan dengan berusaha untuk memusnahkan emosi mereka sepenuhnya, seperti yang dilakukan oleh para praktisi Yoga. Disini Tantra bekerja sebaliknya, yaitu dengan memperbesar emosi mereka dan mentransfernya sepenuhnya ke Dewa, sebagai kekuatan kosmik yang dipersonifikasikan.
Semua emosi dari praktisi spiritual secara alami, bisa dihabiskan dalam hubungan penyembahan Dewa ini, untuk menghindari penekanan keinginan apa pun, yang kemungkinan bisa meledak dan mengganggu keseimbangan. Jadi disini Tantra menegaskan bahwa langkah spiritual baik pengiwa dan penengen, memiliki arti, tidak ada Mukti (kebebasan dari delusi) tanpa Bhukti (kesenangan). Kenikmatan sendiri mengacu pada penerimaan semua fenomena, yang mungkin terjadi baik itu menyenangkan atau menyakitkan pada diri individu.
Praktisi Tantra bergantung pada kemurahan hati Alam (dipersonifikasikan dengan dewa) untuk melindungi dan menyediakan. Yoga dan Vedanta ini ditujukan langsung pada Mukti, yang sangat sesuai diterapkan di zaman dahulu, ketika kehidupan duniawi tidak terlalu banyak menuntut. Namun, langkah Tantra akan lebih praktis untuk zaman sekarang.