Penulis merasa tertarik, ketika mendengar cerita tentang makhluk mitologi pewayangan Jawa, yang dikenal dengan sebutan Cakil. Dari sini penulis merasa ada keterkaitan antara kisah Yaksa serta Kurcaci.
Fakta Yaksa dalam ritual Weda, memang sudah bertahan sebagian, sampai hari ini, tetapi pandangan agama Hindu abad pertengahan, dan modern sangat berbeda dari periode Weda, seperti yang sudah kita ketahui dari literatur yang ada, sehingga kita tidak bisa menerapkan keduanya, pada sebutan yang sama.
Cakil dalam mitologi pewayangan Jawa, merupakan makhluk yang terlihat mirip dengan raksasa dan Bhuta, yang membedakan adalah, bahwa cakil memiliki postur tubuh jauh lebih kecil, memiliki jumlah yang tak terhitung, dan yang paling menonjol adalah, bahwa cakil memiliki rahang bawah yang lebih menonjol ke depan, dengan dua taring serta gigi yang tajam.
Bila Bhuta dan Raksasa adalah makhluk yang berperang melawan para Dewa, maka Cakil lebih berpihak kepada Dewa, namun mereka dianggap selalu, mengganggu kehidupan manusia. Di tulisan berikut, penulis berusaha untuk mengumpulkan, bahan yang cukup untuk menyajikan gambaran yang cukup jelas tentang fase penting, dari siapa sebenarnya Yaksa dan Yaksini, serta gambaran kemiripan dengan Cakil.
Yaksa, Raksasa Dan Bhuta
Yaksa (yaksini), Gana dan Guhya mereka adalah makhluk primordial yang terlahir dengan sendirinya. Mereka dikaitkan dengan kehadiran Panca Maha Bhuta, yang membentuk dunia. Tempat tinggal mereka yang paling awal, adalah langit, air, dan pepohonan. Mereka memiliki kekuatan supernatural. Dalam teks-teks Weda selanjutnya, mereka digambarkan sebagai makhluk yang menakjubkan, serta tak terkalahkan.
Kisah tentang Yaksa seperti yang biasanya, diwakili dalam literatur sektarian, yang dalam cerita rakyat modern tentunya, akan menghasilkan gagasan yang tidak sempurna, dan memang sama sekali keliru tentang makna asli mengenai siapa sebenarnya Yaksa, bila tidak diperiksa dengan hati-hati.
Fakta Yaksa, dan evolusinya, menurut penulis, masih perlu untuk menunggu penyelidikan lebih lanjut. Kata Yaksa tidak memiliki kesetaraan dalam bahasa Inggris. Banyak peneliti yang mengatakan, Yaksa dianggap setara dengan “Geni” (jin) dan kepercayaan lokal, lebih pada malaikat pelindung.
“Kami telah melihat Kakuda, putra para dewa, disapa dan di kota para dewa, Alakamanda, digambarkan penuh sesak dengan Yakkha (“dewa”) – Mereka memiliki kekuatan supernormal dewa. …. Namun mereka adalah makhluk yang mengalami kemrosotan”.
Bahkan ketika kisah-kisah syair dari kitab Jataka diturunkan, Yaksa lebih terlihat ke status sebagai raksasa kanibal bermata merah. Ini wajar saja bila sudah kehilangan arti penting sebagai dewa pelindung, para Yaksa dalam cerita rakyat populer, tidak diragukan lagi dipengaruhi oleh prasangka yang telah disebut sebagai nyata, dalam literatur sektarian, yang mengklasifikasikan mereka setara dengan Bhuta dan Raksasa.’
Kata Yaksa pertama kali ditemukan dalam teks Jaiminiya Brahmana, disebutkan tidak lebih dari “makhluk yang menakjubkan. Dalam arti “roh” atau bangsa, dikaitkan secara langsung dengan Kubera (pemimpin Yaksa). Mereka adalah tokoh yang jauh lebih akrab ditemukan dalam Epos. Dalam kisah Ramayana salah satunya, kita menemukan “yak sattva amaratvam ca (kerohanian dan keabadian)” sebagai wujud anugerah, yang diberikan oleh para Dewa dan Dewi.
- Dewa dipuja oleh manusia dari kelas Sattvik (murni).
- Yaksa dan Raksasa dipuja oleh manusia dari kelas Rajasik (aktif).
- Preta dan Bhuta, dipuja oleh manusia dari kelas Tamasik (lamban).
Dengan kata lain, Fakta Yaksa berada di bawah status para Dewa, tetapi mereka berada di atas para Preta dan Bhuta. Akan tetapi keberadaan Yaksa tidak dibedakan secara jelas dengan para Dewa.
Kubera sendiri dianggap sebagai Dewa kekuatan, produktivitas, yang dipuja terutama untuk harta (memberi kekayaan). Tinggal di kota yang disebut dengan Alaka, yang terletak di Gunung Kailash (juga tempat tinggal Dewa Siwa), adalah kota yang bertembok megah, di mana tidak hanya para Yaksa yang berdiam, melainkan juga para Kinnara, Pertapa, Gandharwa dan Raksasa. Bahkan ini sangat dimungkinkan, seluruh langit-langit Gua di Ajanta (Ellora-India), bisa dipandang sebagai representasi dari Surga Kubera.
Kubera memiliki banyak istana dan kebun yang indah, di Gunung Kailash. Ini tidak perlu disebutkan secara rinci, tetapi dapat dikatakan mengenai kisah keindahan hutan Citraratha, bahwa pohon-pohonnya berdaun permata, dan berbuah gadis cantik. Memiliki postur tubuh gempal dan gemuk adalah wujud Yaksa. Namun, dari para pengikut Kubera, kita bisa belajar banyak. Mereka memiliki kekuatan, untuk berubah bentuk dalam wujud apapun, terutama perempuan yang sangat cantik (sehingga kecantikannya, yang tidak bisa dibedakan apakah dia Dewi, atau Yaksini) mereka baik hati, tapi mampu bertarung dengan cukup sengit, sebagai figur penjaga yang tidak terhitung jumlahnya, meskipun hanya sedikit yang disebutkan namanya.
Ada beberapa kebingungan membedakan antara Yaksa dan Raksasa, yang menurut satu tradisi mereka memiliki asal usul yang sama; keduanya memiliki kualitas baik dan jahat, sehingga sering deskripsi yang sama, akan berlaku untuk keduanya, tetapi kedua kelas tersebut sama sekali tidak identik, dan secara umum kita menemukan Yaksa terkait dengan Kubera, Raksasa dengan Rahwana, sebagai pemimpin mereka. Yaksa biasanya ramah, Raksasa haus darah.”
Fakta Yaksa memainkan peran, sebagai pembawa atau pendukung dalam segala macam situasi, di mana sikap mereka adalah salah satu layanan yang ramah; sehingga dengan demikian, mereka terus-menerus direpresentasikan sebagai penopang dalam relief candi-candi dan gerbang. Sehubungan dengan Vaisravana (Kubera), dan Dewa-Dewa lainnya, sosok Guyas juga dipresentasikan dalam wujud manusia kerdil berjongkok sebagai pendukung, bahkan juga “kendaraan”. Mereka mampu untuk menopang istana terbang Kubera, karena Kubera adalah Guhya Pati. Para Guhya pada dasarnya adalah, roh dari para leluhur manusia di bumi.
Dalam karya-karya Buddhis, para Yakkha kadang-kadang digambarkan sebagai guru moral yang baik, dan juga sebagai roh penjaga.
“Jangan melakukan kejahatan, terbuka atau tersembunyi. Bila kejahatan yang engkau lakukan atau akan dilakukan, Kamu tidak akan luput dari kejahatan, meskipun kamu melarikan diri.”
Tidak hanya manusia yang bisa terlahir kembali sebagai Yaksa, tetapi juga sebaliknya. Kasus yang sangat menarik, dari kelahiran kembali seperti itu, muncul dalam prasasti Indrakila, dari abad kesembilan.
Prasasti ini, dipahat dengan relief yang menggambarkan episode Kiratarjuna dari Mahabharata. Prasasti tersebut didirikan oleh seorang Trikotti-Boyu, yang menganggap dirinya sebagai inkarnasi dari Yaksa yang ramah, atas perintah Indra untuk membimbing Arjuna, ke bukit Indrakila yang tidak mampu ia dilewati, untuk bertemu dengan Dewa Siwa dan menerima Pashupatastra. Teks-teks Epik yang masih ada, tidak menyebutkan tentang Yaksa, tetapi beberapa versi cerita pasti mengenalnya.
Fakta Yaksa Sebagai Dewa Pelindung Dan Roh Penjaga
Yaksa yang bereinkarnasi menjadi manusia, akan terikat pada layanan komunitas atau individu, dan, mereka yang terlahir kembali sebagai roh atau guyas, akan terus mengawasi manusia, yang sebelumnya mereka layani. Seperti pada kisah salah satu penjaga gerbang kota, yang telah meninggal dan menyadari, telah dilahirkan kembali di sebagai para Bhuta. Dia memberi penduduk kota instruksi sebagai berikut :
“Karena saya telah dilahirkan kembali di antara para Bhuta, bangunlah patung Yaksa dan gantungkan lonceng di lehernya. Kapanpun musuh mendekat, saya akan membuat bel tersebut berbunyi, sampai musuh tersebut ditangkap atau telah pergi.”
Jadi Penduduk kota mulai membangun sebuah patung Yaksa dan menggantungkan lonceng di lehernya. Kemudian mereka mulai menempatkannya di pintu gerbang, dilengkapi dengan persembahan dan karangan bunga, dengan tarian dan lagu serta suara alat musik.
Dalam Sutra Jaina Uttaradhyayana disebutkan, bahwa Yaksa yang terlahir kembali sebagai manusia, ketika karma mereka sudah habis. Namun, tidak hanya manusia, bahkan hewan pun bisa dilahirkan kembali, sebagai Yaksa pelindung.
Bhavanam Yang Dibangun Megah
Tempat tinggal (bhavanam) seorang Yaksa, sering disebut sebagai Caitya atau Ayatana, yang mungkin berada di luar kota, di hutan, di gunung atau di kuil. Caitya atau Ayatana ini sering dikenal disebut sebagai bagunan kuno, megah, yang terkenal di dunia. Namun ada elemen penting dari tempat suci para Yaksa adalah, meja batu atau altar yang ditempatkan di bawah pohon yang suci bagi Yaksa.
Di pintunya ada guci ritual, serta lengkungan yang dibuat dengan baik. Kumpulan besar bunga-bunga segar yang berbau harum, dari lima warna yang tersebar di dalamnya. Campuran kalaguru, kundurukka, dan turukka (dupa) dengan aroma yang sangat menyenangkan.
Dengan memiliki proporsi yang baik untuk lebar, panjang, dan tinggi; dan itu hitam …. halus dan besar, bersudut delapan, berkilau seperti permukaan cermin, sangat menyenangkan, dengan relief beraneka ragam dengan gambar serigala, banteng, kuda, manusia, lumba-lumba, burung, ular, elf, rusa ruru, rusa sarabha, yak-lembu, gajah, rambat hutan, dan padmaka rambat yang bentuknya seperti singgasana, dan menghibur …. sungguh indah.
Sementara kata Caitya sendiri berarti, tidak lebih dari sekedar pohon suci, atau pohon dengan altar; seperti itu disebut caitya-vrksa dalam epos, dan dinyatakan dalam Mahabharata, bahwa pohon suci tersebut tidak boleh dilukai, karena mereka adalah tempat peristirahatan para Dewa, Yaksa, Raksasa.
Jenis Persembahan Terhadap Yaksa
Dalam Epos Mahabarata menyebutkan bahwa bunga yang diberikan kepada Yaksa, Gandharwa, dan Naga mampu untuk menyenangkan hati, oleh karena itu mereka disebut sumanasas dan eumenides, yang beraroma tajam. Bunga berwarna merah dan berduri banyak digunakan dalam ritual magis, Dupa yang terbuat dari Deodar dan Vatica Robusta disukai oleh semua Dewa, tetapi dupa Sallaki, hanya cocok untuk para Daitya (asura) dan sejenisnya.
Persembahan berupa bunga bisa diterima oleh Raksasa, tetapi para Naga menggunakannya sebagai makanan. Di sisi lain, makanan Yaksa dan Raksasa adalah daging dan minuman keras. Manu mengatakan bahwa, daging dan minuman yang memabukkan adalah makanan Yaksa, Raksasa dan Pisaka. Ini yang dilakukan oleh para Penambang, sebelum menggali harta karun, yaitu dengan membuat persembahan daging, biji wijen, dan bunga, kepada Kubera, dan Manibhadra.
Kitab-kitab selanjutnya muncul untuk menunjukkan bahwa pemujaan Yaksa dan beberapa Yaksa tertentu mempertahankan prestise mereka sepanjang periode abad pertengahan. Ritual untuk memanggil Yaksa disebutkan dalam kitab Kathasaritsagara. Ritual ini harus dilakukan di area kuburan, dan ternyata merupakan salah satu teknik dari ritual Tantrik.
Jenis Ritual Pemujaan Terhadap Yaksa
Fakta pemujaan terhadap Yaksa hampir identik dengan ciri-ciri aliran Bhakti (kebaktian) lain dan kontemporer. Jadi tidak benar bahwa istilah Bhagavat (penyembahan) dan Bhakti (kebaktian) hanya untuk para menyembah Dewa Wisnu. Kebangkitan, atau kemunculan kultus Bhakti pada abad-abad permulaan bukanlah perkembangan sektarian yang terisolasi, tetapi kecenderungan umum.
Penggunaan gambar di kuil, praktek sujud, persembahan bunga, dupa, makanan, dan pakaian, penggunaan lonceng, nyanyian hymne, penyajian drama berurusan dengan kesenangan dewa, semua ini adalah karakteristik dari pemujaan Hindu bahkan masih berlangsung hingga hari ini.
Hanya sifat makanannya yang aneh, dan ini mungkin dikaitkan dengan hubungan antara Yaksa dengan Raksasa, bahwa pengorbanan hewan dan penggunaan minuman keras masih bertahan di beberapa kultus Sakta sampai saat ini. Namun, tidak ada jenis pemujaan ini, yang bisa ditemukan dalam Weda.
Kesimpulan
Fakta Yaksa merupakan Dewa asli penduduk lokal (non arya) sebelum diterima sebagai aturan resmi dalam teologi Brahmanis, Buddhisme dan Jainisme. Mereka dikenal karena kekuatan, kedermawanan, kekayaan dan kesuburan yang diberikan kepada para pemujanya.
Cara pemujaan terhadap mereka telah lama bertahan, namun dalam literatur sektarian, mereka muncul hanya untuk melayani tujuan moral, baik sebagai penjaga dan pembela iman, atau untuk ditunjuk sebagai contoh wujud kejahatan yang mengerikan.
Tentu saja, konsep Yaksa telah memainkan peran penting dalam perkembangan mitologi Hindu, Buddha serta Jain, dan bahkan lebih pasti lagi, ikonografi Yaksa awal telah membentuk fondasi ikonografi di kemudian hari. Bukan berarti tanpa makna bahwa konsepsi Yaksattva begitu erat terikat dengan ide reinkarnasi.
Jadi ide mengenai Yaksa, apakah sama dengan Cakil, yang ikut berperang melawan Asura, memiliki kekayaan berlimpah di bawah gunung, seperti para Kurcaci memiliki unsur sama, atau hanya kebetulan. Penulis masih belum berani menyimpulkan bahwa Yaksa, Cakil serta Kurcaci adalah sama. butuh penelitian lebih lanjut untukmemastikan kebenaran ini. Mungkin pembaca memiliki opini sendiri, untuk disampaikan dalam kolom komentar dibawah ini.