Mantra Siddhi merupakan sebuah konsep yang menggambarkan kekuatan mantra. Namun, pengulangan kata-kata saja tidak cukup; penting untuk memahami entitas, yang dipanggil melalui mantra tersebut.
Banyak orang berbicara mengenai Mantra Siddhi (perwujudan ketuhanan terkandung dalam mantra), tetapi memahami dengan benar mengenainya, bisa dipertanyakan. Katakanlah seseorang ingin mencari lokasi saudaranya, dikota lain yang belum pernah dijumpai seumur hidupnya, dan hanya mengenalnya melalui namanya. Tapi itu saja tidak cukup. Orang tersebut juga harus tahu seperti apa penampilannya, serta di mana alamatnya, karena mungkin banyak orang, juga memiliki nama sama. Seperti halnya ketika seseorang mengetahui kesukaan, juga ketidaksukaan, temperamen, serta seluruh aspek karakter seseorang, bukan berarti mereka benar-benar mengenalmu. Kemudian dia bisa menemukanmu dengan mudah.
Tanmayata (Kebersamaan)
Seperti halnya dalam sadhana. Ketika memanggil dewa tertentu dengan bantuan Mantra Siddhi, tidak lain hanyalah nama dewa tersebut, spiritualis harus juga memiliki gambaran mental, mengenai rupa beliau. Hari demi hari terus memanggil; kemana Dewa tersebut akan pergi? Dewa itu akan datang kepada spiritualis yang memanggilnya, serta akan datang segera, setelah mendapatkan restunya. Pada awalnya spiritualis mungkin hanya bisa memanggil dewa sesekali. Kemudian, saat mencapai panjang gelombang-Nya, spiritualis akan selalu bersama dewa itu yang disebut dengan Tanmayata.
Tadrupata (Satu Kesadaran)
Akhirnya individualitas dari spiritualis akan menjadi lenyap sepenuhnya, dan bersama dewanya akan menjadi satu kesadaran. Ketika sudah menjadi identik dengan dewanya, maka dianggap telah mencapai tahap tadrupata. Pada tahap ini terdapat mantra chaitanya, dimana kesatuan total antara kesadaran bersama mantra. Setiap sel di tubuh telah menjadi resonator mantra; setiap pori menjadi mulut, bersamanya mampu untuk mengucapkan nama Tuhan dalam Mantra Siddhi.
Tantra berpendapat, bahwa kesadaran wilayah tertentu dari tubuh fisik, adalah keilahiannya. Karena setiap mantra adalah dewa, maka seluruh tubuh manusia terdiri dari mantra, juga merupakan mantra itu sendiri. Dengan mengulangi mantra terus-menerus, maka spiritualis akan menciptakan kembali dirinya dalam gambaran baru. Pada akhirnya, ketika benar-benar disucikan, kepribadian aslinya menjadi terhapus seluruhnya, serta hanya gambar keilahian tersisa, inilah yang akhirnya menghasilkan mantra siddhi.
Pertapa Dan Pengembala Dalam Mantra Siddhi
Kisah mengenai seorang penggembala, yang mengidentifikasi dirinya dengan seekor kerbau, dibawah ini akan memberikan wawasan tentang bagaimana identifikasi dengan mantra, mampu mempengaruhi pemahaman spiritual.
Suatu hari, setelah bepergian dari satu tempat ke tempat lain, seorang pertapa pengembara bertemu dengan seorang anak laki-laki, sedang menggembala kerbau. Karena lapar, dia meminta susu untuk diminum, kemudian anak laki-laki itu segera memberikannya kepadanya. Ketika ia telah minum hingga puas, sang pertapa mulai merasa murah hati, serta bertanya kepada sang penggembala,
“Apa yang kamu inginkan? Saya merasa segar sekarang, saya akan memberikan sesuatu kepadamu.”
“Anak laki-laki itu terkekeh dan berkata, ‘Saya sebenarnya tidak membutuhkan apa pun. Saya tidak melakukan apapun sepanjang hari kecuali menggembalakan kerbau, dan saya cukup puas dengan hal itu. Selain itu, Wahai pertapa bijak, Anda datang kepadaku sebagai seorang pengemis, dan saya memberimu sedekah. Bagaimana saya bisa mengharapkan imbalan dari Anda? Akulah pemberinya, bukan Anda, wahai pertapa bijak.”
Sang pertapa terkejut dengan jawaban ini, dan menyadari bahwa ini bukanlah pengembala kerbau biasa. Kemudian dia berpikir, akan melakukan hal yang baik, untuk membalas kebaikan pengembala tersebut, dan bertanya,
“Apa gerangan yang paling kamu sukai di dunia ini?”
“Tentu saja kerbau ini,’ jawab anak laki-laki itu dengan polos, ‘yang susunya baru saja Anda minum. Dia paling besar yang saya miliki. Dia juga telah memberiku lebih dari sepuluh galon susu sehari, dan dia begitu berbadan tegap serta kuat, penuh kasih sayang, gagah, dan berkelakuan baik, sehingga saya sangat menyukainya.”
“‘Baiklah,’ kata sang pertapa, ‘tolong lakukan satu hal. Duduklah di gua sebelah sana, dan bayangkan Anda adalah kerbau ini. Pikirkan tentang dia; simpan gambar tersebut bersama dalam pikiranmu. Identifikasi diri sepenuhnya dengannya; menjadi dia. Saat duduk, ulangi pada dirimu sendiri, “Bhaisoham, bhaisoham” (“Saya adalah seekor kerbau, saya adalah seekor kerbau.”) Jangan khawatirkan tentang apa pun; saya disini akan menjaga kerbau-kerbaumu.’
Penggembala itu setuju, untuk melakukan apa yang diperintahkan sang pertapa, setelah tiga hari pertapa memasuki gua untuk memeriksa anak laki-laki itu, dia menemukannya duduk tak bergerak dengan mata tertutup, mengulang kata, ‘Bhaisoham, bhaisoham.’ Kemudian pertapa berkata,
“Jadi, pengembala muda, bagaimana kemajuanmu? Keluarlah sekarang.”
“Penggembala itu menjawab, ‘Jangan panggil saya penggembala kerbau! Saya adalah seekor kerbau. Tidak bisakah Anda melihatnya? Lihat punggungku yang lebar! Bagaimana aku bisa meninggalkan gua ini? Tandukku terlalu lebar untuk melewati pintu masuk. Sekarang jangan bodoh; pergilah dan tinggalkan saya sendiri, atau saya akan menandukkmu, serta melemparkanmu keluar, dengan tandukku yang indah ini.”
Tetapi sang pertapa tetap bertahan dan berkata,
“Cobalah mengingatnya, Nak. Aku sudah bilang padamu duduk, dan lakukan ini. Sekarang, daripada mengulangi, “Saya adalah seekor kerbau, saya adalah seekor kerbau,” mulailah mengidentifikasi dirimu dengan Siwa. Ulangi kata, “Shivoham, Shivoham” (“Saya Siwa, Saya saya Shiva”).”
Penggembala itupun setuju melakukan hal itu, dan dalam waktu sekitar lima belas menit, dia sudah dalam kondisi kesurupan. Dia menyadari tujuannya: Jiwa Semesta dalam wujud Dewa Siwa.
Pertapa itu tercengang. Air matanya berlinang dan dia berkata pada dirinya sendiri,
“Orang ini hanya duduk selama tiga setengah hari, serta mampu untuk mencapai hasil maksimal, sedangkan saya telah mengembara, berlatih tanpa hasil, selama bertahun-tahun.”
Kemudian dia menjadikan pengembala kerbau itu sebagai gurunya, akhirnya, dia pun mendapat pencerahan.
Pesan Moral Pertapa Dan Pengembala
Apa yang bisa dicapai oleh pengembala kerbau dengan begitu cepat, tentu merupakan hasil persiapan dari kelahiran sebelumnya. Waktu bukanlah kriterianya; bila keinginan cukup kuat, maka hasilnya harus terjadi tanpa penundaan. Kita hanya harus melupakan segalanya, kecuali nama dan wujud dewa yang disembah ; maka mampu segera mencapai yang tertinggi.
Namun, Apakah kata Soham sama dengan Shivoham? Tentu ini tidak tepat. Banyak orang suci menyuruh murid-muridnya untuk mengulangi kata ‘Soham’ berarti ‘Sa aham (Akulah Dia)’, ‘Dia’ yang dimaksud adalah Diri Semesta, dalam aspek tak terbentuknya. Sebenarnya ini tidak bermasalah, hanya saja hal ini tidak sesuai dengan hasil diinginkan. Tidak mudah untuk mengidentifikasi diri dengan Diri Universal, yang tidak mungkin untuk dibayangkan, apalagi diungkapkan dengan kata-kata. Namun bila mantranya dibalik, maka jadilah demikian.
Seperti halnya menggunakan kata ‘Hamsah’, merupakan Mantra Bija dari Dewi Saraswati, atau dewi pembelajaran. Siapa pun yang mengulangi mantra tersebut, akan mendapat manfaat dari Shakti Saraswati, akan menuntun spiritualis yang mengucapkannya, selangkah demi selangkah ke Soham. Selalu Ibulah yang akan memperlihatkan wajah Ayahnya, kepada sang anak.
Pertapa memberi anak laki-laki itu nama, dan bentuk, untuk memusatkan pikirannya. Karena dia harus melakukan beberapa tugas awal, betapapun minimalnya, dengan bantuan sebuah bentuk. Nama dan wujud, keduanya sangat penting untuk ibadah. Salah satu bagian dari pikiran mengambil bentuk suatu objek; itulah bentuk. Bagian lain dari pikiran mengidentifikasi dan membedakannya; itu adalah nama. Hampir mustahil untuk mencapai jenis samadhi tertinggi secara langsung. Dibutuhkan waktu selama bertahun-tahun, sebelum kesadarannya menjadi cukup terpusat, untuk mencapai Yang Tak Berbentuk.
Kenapa anak laki laki tersebut harus membayangkan Seekor kerbau, ini adalah pilihan logis bagi para penggembala kerbau, karena dia tinggal di sekitarnya, dan mencintai mereka; dia memiliki ketertarikan kuat terhadap kerbau. Namun, spiritualis tidak boleh memilih kerbau sebagai wujud konsentrasi, karena kerbau adalah perwujudan dari kelambanan dan kebodohan; juga personifikasi dari Tamas. Para spiritualis, mungkin akan lebih memilih untuk menggunakan dewa, untuk mempersiapkan dirinya, serta dewa yang memiliki ketertarikan dengan mereka dengan memberikan Mantra Siddhi.
Kesimpulan Mantra Siddhi
Mantra Siddhi mengungkapkan bahwa pemahaman mendalam tentang konsep mantra memerlukan lebih dari sekadar pengulangan kata-kata; pembaca juga perlu memahami entitas spiritual yang ingin dihubungi. Identifikasi kuat dengan entitas tersebut, memungkinkan untuk mencapai tahapan lebih tinggi dalam perjalanan spiritual. Proses ini membantu kita meraih pemahaman yang lebih mengenai kekuatan bahasa, getaran, dan identifikasi diri dengan aspek spiritual tertentu. Dengan demikian, Mantra Siddhi, dalam konteks yang tepat, bisa menjadi alat kuat dalam pencapaian kesadaran spiritual lebih tinggi.