Dalam lorong-lorong mitologi Hindu, membuka tirai misteri Empat Yuga, mengungkapkan perjalanan manusia dari Satya Yuga hingga Kali Yuga. Keseimbangan antara Dewa dan Asura memainkan peran utama dalam dinamika waktu.
Empat Yuga: Misteri Lorong Waktu dalam Mitologi Hindu. Dalam perjalanan melintasi lorong-lorong kompleks mitologi Hindu, tulisan ini membuka jendela menuju misteri angka 432 serta konsep Empat Yuga. Dengan merinci perjalanan waktu dari Satya Yuga hingga Kali Yuga, kita menjelajahi makna numerologis, keseimbangan antara Dewa dan Asura, serta praktik spiritual yang mengiringi perubahan kualitas zaman. Melalui tulisan ini, kami mengajak untuk memahami bagaimana konsep waktu serta spiritualitas, bersatu dalam panorama kaya mitos dan esoterisme Hindu. Selamat membaca!
Eksplorasi Rahasia Angka 432 Dalam Mitos Dan Kehidupan
Kecenderungan untuk tergoda pada kenikmatan inderawi sudah ada sejak dahulu, namun kecenderungan ini jauh lebih kuat pada Kali Yuga. Empat Yuga adalah Empat Zaman yang dilalui dunia berulang kali. Masing-masing bertahan selama ribuan atau jutaan tahun. Kali Yuga, zaman kita saat ini, diperkirakan berlangsung selama 432.000 tahun. Namun apakah angka-angka ini perhitungan nyata, atau hanya sebagian besar merupakan angka numerologi yang signifikan?
Angka-angka tersebut sebagian besar bersifat numerologis. Contohnya, Joseph Campbell menemukan bahwa bilangan 432 (4 x 108) adalah bilangan secara logis signifikan dalam mitos India, Norse, Babilonia, dan Yahudi, hal ini juga penting dalam dunia fisika. Hasil 432 ketika seseorang membagi 25.920 tahun dalam satu siklus perkembangan zodiak atau 60. Jantung berdetak enam puluh kali semenit berdetak 86.400 kali sehari (864 : 2 = 432), dan paru-paru yang bernapas lima belas kali semenit bernafas 21.600 kali sehari (216 x 2 = 432). Bahkan Perusahaan Wilson, setelah melakukan penelitian panjang mampu menyimpulkan, bahwa bola golfnya harus memiliki tepat 432 lekukan agar bisa melayang dengan maksimal.
Setiap periode penciptaan atau hari dalam masa hidup Sang Pencipta, disebut dengan kalpa. Setiap kalpa diberi nama, kalpa kita saat ini disebut sebagai Kalpa Sweta Varaha atau Kalpa Babi Putih. Setiap kalpa berlangsung selama milyaran tahun, serta dibagi menjadi empat belas periode disebut Manvantara diatur oleh seorang makhluk manu sebagai nenek moyang ras yang hidup di bumi pada waktu itu. Saat ini kita berada di Vaivasvata Manvantara, manvantara ketujuh dari Kalpa ini.
Setiap Manvantara terdiri dari sekitar tujuh puluh siklus dari Empat Yuga (zaman). Empat Zaman tersebut adalah Satya Yuga, Treta Yuga, Dvapara Yuga, dan Kali Yuga. Kita sekarang hidup di Kali Yuga ke dua puluh delapan sejak awal manvantara saat ini artinya masih tersisa 42 siklus yang akan datang. Di akhir setiap Kali Yuga terdapat pralaya, suatu periode ketika seluruh masyarakat dan komunitas dihancurkan, biasanya karena bencana alam. Lalu ada waktu istirahat, dan Satya Yuga dimulai lagi.
Pada akhir setiap Manvantara (70 siklus dari 40 Yuga berakhir) terjadi kehancuran yang lebih luas pada akhir kalpa, seluruh kosmos untuk sementara terpecah kembali menjadi unsur-unsur utamanya sedangkan Sang Pencipta tertidur. Ketika terbangun, alam semesta akan kembali diciptakan melalui pikiran-Nya. Kita semua adalah aktor dalam mimpi Sang Pencipta.
Melintasi Empat Yuga Dan Keseimbangan Spiritual.
Penciptaan, kehancuran, dan kehancuran, penciptaan adalah waktu yang terus berjalan. Pengaruh zaman di mana kita hidup juga mempengaruhi keinginan akan ketuhanan serta kemampuan dalam memenuhi keinginan tersebut. Selama masih bersifat fana, manusia harus tunduk pada waktu serta terbentuk oleh Yuga, tempat ia dilahirkan.
Ketika Satya yuga berlangsung setidaknya manusia memiliki umur empat kali lipat, serta memiliki empat kali kebenaran seperti yang telah mereka lakukan saat ini. Tidak ada yang menandingi agama selama Satya Yuga, setiap orang memuja dengan cara mengidentifikasi Diri langsung dengan Jiwa Universal. Selama Satya Yuga orang memperoleh segala sesuatu, yang mereka butuhkan melalui kekuatan kemauan. Tidak ada penyakit, tidak ada perselisihan, juga tidak ada mengganggu sadhana.
Di Treta Yuga seperempat dari kebenaran ini menghilang. Pengorbanan pun dimulai, dan orang memeroleh apa yang mereka inginkan melalui pengorbanan. Kemudian di Dwapara Yuga seperempat kebenaran lainnya lenyap, dan banyak penyakit serta bencana bermunculan sehingga pertapaan menjadi perlu. Orang-orang di Dwapara Yuga mencapai keinginan mereka berkat pertapaan mereka.
Sekarang, di Kali Yuga, hanya tersisa seperempat dari jumlah normal kebenaran atau mungkin kurang, mengingat apa yang terjadi di dunia saat ini. Segalanya terus berubah dan selalu berubah, serta kemungkinan besar manusia akan mendapatkan efek sebaliknya dari ritual keagamaan apapun yang dilakukannya. Namun, banyak manuskrip mengatakan bahwa Kali Yuga adalah Yuga terbaik dari segala Yuga, karena ini adalah zaman di mana setiap orang, tanpa memandang kasta atau karma, mampu menyadari Tuhan. Masalahnya, kebanyakan orang begitu dikuasai oleh Maya, sehingga tidak mempunyai keinginan untuk mengenal Tuhan.
Kali Yuga akhirnya berkembang menjadi Kali Yuga Ghora (mengerikan), ketika keadaan menjadi sangat buruk di dunia, dimana selokan dipenuhi dengan kotoran. Alam kemudian membersihkan selokan, dengan cara apa pun yang dianggap cocok untuk digunakan, dan Satya Yuga dimulai lagi.
Dinamika Kecerdasan Dewa dan Asura
Sebenarnya Yuga-yuga ini mirip dengan empat musim kosmik. Dimana setiap musim memiliki karakteristiknya masing-masing, demikian pula setiap yuga. Bahkan jenis makhluk mendominasinya juga berbeda-beda berdasarkan yuga.
Selama Satya Yuga para dewa (secara harfiah berarti yang bersinar) memiliki kesempatan untuk mempertunjukkan permainan mereka. Para dewa atau sura adalah apa yang kebanyakan orang sebut sebagai dewa. Mereka adalah makhluk spiritual yang sangat tinggi, suka membantu manusia bila meminta bantuan mereka dengan cara yang benar. Mereka memiliki kelebihan Sattva dalam sifatnya, menjadikannya sebagai makhluk sangat baik hati. Namun mereka bukanlah Sattva murni, karena kita menyadari bahwa mereka selalu mendapat masalah dalam beberapa hal. Tidak hanya itu, mereka juga suka berpuas diri. Begitu mereka telah mencapai sesuatu, mereka berusaha mempertahankannya, mereka tidak ingin maju lebih jauh. Rasa puas diri adalah ciri khas Tamas. Karena rasa puas diri mereka, mereka selalu ditaklukkan oleh para asura.
Para asura (anti-sura) juga merupakan makhluk spiritual yang telah berevolusi tinggi, namun mereka memiliki sifat pencemburu dan egois. Mereka adalah makhluk Tamas; mereka selalu merencanakan perang melawan para dewa untuk menantang mereka menguasai alam semesta.
Namun mereka juga memiliki beberapa Sattva; jika tidak, mereka tidak akan pernah mendapatkan ide untuk melakukan penebusan dosa, dan mereka dapat melakukan penebusan dosa yang luar biasa, pertapaan yang tidak pernah diimpikan oleh para dewa untuk dilakukan. Sayangnya, ketika mereka memperoleh shakti sebagai hasil dari pertapaan tersebut, mereka selalu menyalahgunakannya.
Misalnya, mereka telah belajar bagaimana mengendalikan pikiran makhluk lain. Jika mereka menggunakan kekuatan ini untuk kebaikan, mereka akan sangat bermanfaat bagi alam semesta. Tapi mereka menggunakannya hanya untuk menipu.
Ada perbedaan besar antara kecerdasan Sattvic dan kecerdasan Tamasic, antara kecerdasan para dewa dan kecerdasan para asura. Seorang Sattvic yang mempunyai seekor binatang melihatnya sebagai mainan hidup dan menyaksikannya menikmati hidupnya. Seorang asura, yang memiliki kecerdasan Tamasic, melihat mainan tersebut dan ingin menghancurkannya, membunuhnya, dan memakannya.
Asura tidak membutuhkan cinta seperti itu. Mereka juga tidak bodoh; mereka hanyalah bajingan. Apa yang dilakukan oleh seseorang bajingan? Orang bodoh bisa memaafkan, namun bajingan? Lebih baik tinggalkan saja dan biarkan dia terus apa adanya. Kenapa kita repot karena memang tidak akan pernah berubah?
Dharma Melawan Adhama
Apakah adil untuk mengatakan bahwa Sura berarti api baik, karena kata su (baik) + ra (Adalah mantra Bija untuk Elemen Api), sedangkan para asura, (bukan-sura), adalah api buruk ?
Hal ini karena para dewa memiliki kecerdasan Sattvic, memiliki Bhuta Agni yang kuat, dan mereka tidak begitu berdedikasi pada keberadaan fisik seperti layaknya para Asura, yang Jathara Agninya jauh lebih kuat serta otaknya dipenuhi oleh Tamas. Asura mengarahkan sebagian besar energinya ke tubuhnya, bukan pada kesadarannya. Itulah sebabnya kita tidak memuja asura, meskipun Aaa sebagian manusia yang memuja asura, tapi biasanya hanya akan menyesal pada akhirnya.
Namun, bisakah alam semesta berjalan tanpa Asura, dan hanya ada Dewa?
Alam tidak bisa memiliki yang satu tanpa ada yang lain. Andai saja hanya para dewa ada, maka alam semesta akan menjadi stagnan, serta tidak akan ada yang berubah, karena para dewa percaya pada status quo, hanya akan berubah bila para Asura menekan mereka untuk berubah.
Asura percaya pada perubahan, mereka selalu ingin mencoba sesuatu yang baru, sedangkan para dewa terjebak di tempat mereka tuju. Namun bila hanya ada Asura, maka mereka akan menghancurkan alam semesta dalam waktu singkat, karena keegoisannya. Ini sebabnya Alam telah menciptakan kedua kelompok tersebut, untuk menyeimbangkannya satu sama lain. Dan itu wajar, bila tidak ada kejahatan, mana mungkin ada kebaikan?
Para asura sendiri mendapat kesempatan, untuk mendemonstrasikan perannya di Kali Yuga. Satya Yuga berlangsung selama jutaan tahun, sedangkan Kali Yuga hanya beberapa ribu tahun. Satya Yuga bergerak sangat lambat, bahkan hampir statis, mencerminkan hampir tidak adanya kekuatan asura sama sekali. Oleh karena itu, bila ingin menyatu dengan Tuhan pada masa Satya Yuga, harus melakukan penebusan dosa minimal sepuluh ribu tahun.
Di Kali Yuga, sebaliknya, menunjukkan naiknya kekuatan asura, perubahan yang sangat cepat sulit dipertahankan. Selain itu kita bisa melihat, perbedaan mendasar antara para dewa dan asura adalah, para dewa memiliki kecerdasan yang lebih tercerahkan, serta memiliki pandangan yang lebih jauh. Seorang asura biasanya akan melakukan apa yang seharusnya tidak dia lakukan, bahkan tidak akan menyadari kesalahannya sendiri. Asura terlihat seperti anak-anak, mereka bisa sangat baik juga sangat kejam.
Asura bisa mencapai hal-hal besar, tapi mereka juga membuat kesalahan besar serta tidak bisa dipercaya otoritasnya. Dengan caranya masing-masing baik dewa maupun asura, mereka bisa menjadi Siddha yang sangat baik. Mereka bahkan bisa menjadi Nath dan Muni (makhluk abadi dengan peringkat lebih tinggi), tetapi tidak pernah menjadi Rsi.
Para Resi bertanggung jawab atas alam semesta. Jika seorang asura menjadi Rsi maka seluruh dunia akan tamat dalam waktu singkat begitu juga sebaliknya bila hanya dewa menjadi Rsi. Seorang asura tidak akan pernah bisa mengubah sifatnya hingga menjadi dewa, meskipun bisa menyatu dengan Yang Maha Akhir, yang hampir sama baiknya.
Prajapati Dan Tiga Kata “Da”
Untunglah bagi kita, tidak semua para Asura ahli dalam sadhana kebanyakan dari mereka sangatlah bodoh. Selang beberapa waktu mereka akan mengikuti aturan, serta batasan sadhana dengan baik, lalu mendadak mereka akan melanggarnya, dengan makan daging, berhubungan seks, atau apa saja. Hal ini karena para Asura tidak memiliki rasa kemurnian yang melekat.
Namun, suatu berkah yang besar bisa menjadi guru para asura, atau bahkan bisa menjadi rajanya, karena dengan demikian kita berada dalam posisi, membuat para Asura menjadi makhluk yang benar-benar memehami Realitas! dan itu menyenangkan. Tapi sayangnya para Asura akan cenderung mudah kembali ke kebiasaan lamanya, karena memiliki sifat bawaan yang tidak bisa diubah, bahkan guru para Asura pun akan menjadi bosan dengan kebiasaan tersebut setelah beberapa saat mau bersabar.
Dalam cerita dari Brhadaranyaka Upanishad, Manusia, Dewa, dan Asura berkumpul mendatangi ayah mereka, yaitu Prajapati, dan berkata, “Mohon instruksikan kami.”
Prajapati berkata kepada para dewa, “Da,” dan bertanya. “Sudahkah kamu mengerti?”
Karena mengira bahwa yang dimaksudnya adalah kata dama yang berarti “pengekangan”, mereka menjawab. “Ya, sudah. Ayah menyuruh kami untuk mengendalikan diri.”
Prajapati berkata, “Ya, kalian sudah mengerti,” Karena para Dewa pada dasarnya sulit diatur.
Prajapati kemudian berkata kepada para Manusia, juga dengan kata “Da,” yang mereka pahami berarti dana, “memberi,” karena manusia pada dasarnya serakah. Beliau juga mengatakan kepada para Asura kata “Da,” yang mereka tafsirkan sebagai daya, “kasih sayanglah,” karena Asura pada dasarnya kejam.
Kisah ini diakhiri dengan menyarankan, agar semua orang untuk mempelajari serta memahami ketiga kata “Da”, tersebut. Karena ketidakteraturan, keserakahan, serta kekejaman ada dalam diri setiap orang hingga batas tertentu.
Empat Yuga Serta Makna Esoterisnya
Bila para Dewa memiliki kecerdasan Sattvic, dan Asura kecerdasan Tamasic, maka Manusia memiliki kecerdasan Rajasic. Dunia manusia adalah dunia di mana segala sesuatunya bisa berubah. Ini sebabnya bahkan para Dewa akan berlomba-lomba untuk terlahir kembali di sini, agar spiritualnya mampu berkembang. Karena dimanapun ada perubahan di situ ada Rajas.
Perubahan sendiri terjadi karena ada keinginan, seluruh alam semesta diciptakan oleh hasrat, dan setiap manusia diciptakan sebagai hasil hasrat seksual. Bila manusia mengikuti jalan para dewa, maka ia akan menuju Sattva, bila mengikuti jalan asura, maka hanya akan mengembangkan lebih banyak Tamas.
Semua hal tersebut terjadi pada tingkat kosmik. Sedangkan pada tingkat mikrokosmik, dewa adalah pikiran baik, pikiran yang tidak egois. Setiap pemikiran serta sikap egois yang dimiliki adalah bentuk asura. Tadi kami menyampaika, bahwa para asura sangat ahli dalam sadhana, hal ini karena kebanyakan orang yang memiliki alasan egois, akan mampu melakukan sadhana, karena percaya akan mendapatkan keuntungan darinya, sehingga menjadi sangat antusias untuk melakukannya.
Sedangkan kebanyakan orang yang menceritakan mengenai kondisi Empat Yuga tidak menyadari, bahwa empat Yuga juga ada di dalam diri kita masing-masing, yaitu terletak di kepala kita. Satya Yuga adalah pikiran itu sendiri. Treta Yuga dibentuk oleh tiga mata, dua mata fisik dan mata ketiga yang tersembunyi, karena treta berarti ‘yang ketiga’. Dwapara Yuga diwakili oleh dua lubang hidung, dwapara berasal dari kata Sansekerta yang berarti ‘dua.’ Sedangkan Kali Yuga adalah mulutnya.
Sekarang coba perhatikan ini. Di Satya Yuga, merupakan zaman mental yang sempurna, tidak ada seorang pun mengganggu untuk berbicara karena semua komunikasi bersifat telepati. Segala sesuatunya bersifat mental pada zaman itu, bahkan tidak perlu menggunakan organ indera apa pun. Orang-orang makan secara mental, menyerap prana atau kekuatan hidup, langsung dengan pikirannya. Bahkan reproduksi pun bersifat mental.
Dalam Satya Yuga, bila seorang pria memandang seorang wanita dengan kasih sayang begitu kuat, ini akan membuat wanita tersebut hamil, atau membuatnya hamil hanya dengan menyeka keringat di keningnya dan memberikannya padanya. Begitulah kekuatan mental yang luar biasa tersedia pada masa itu, sehingga manusia bahkan mmapu menciptakan makhluk tanpa perlu menggunakan rahim.
Di Treta Yuga trataka dipraktekkan. Trataka adalah suatu bentuk meditasi dengan cara fokus atau menatap pada suatu objek yang bercahaya. Jika dilakukan dengan benar, maka trataka mampu membuka mata ketiga. Di Treta Yuga orang menggunakan trataka untuk menyerap prana dari matahari, mereka makan dengan matanya. Mereka berkomunikasi dengan pandangan sekilas, serta menjalin romansa hanya dengan tatapan yang penuh arti. Kemampuan ini ada bersamaan dengan telepati, yang hanya mungkin terjadi setelah mata ketiga dibuka.
Tapi kualitas waktu semakin berubah di Dwapara Yuga, dan hal ini terjadi lebih sulit menggunakan mata untuk melakukan semua pekerjaan. Oleh karena itu masyarakat Dwapara mulai menyerap prana melalui hidung, bukan melalui mata atau pikiran seperti sebelumnya, dan mereka mempraktikkan pranayama sebagai sadhana utamanya.
Di Kali Yuga manusia menerima sebagian besar nutrisi dari makanan, melalui mulut. Terlebih lagi, mereka semua berbicara tidak ada yang menggunakan telepati. Dan itulah mengapa dikatakan bahwa di Kali Yuga, tapa terbaik adalah dengan mengulang-ulang nama Tuhan, karena nama Tuhan mengontrol segala sesuatu yang dikerjakan oleh mulut, juga memurnikan prana yang kita konsumsi.
Kesimpulan
Tulisan kali ini ini membahas mengenai konsep Empat Yuga dalam mitologi Hindu, dengan fokus pada Kali Yuga yang diperkirakan berlangsung selama 432.000 tahun. Angka 432 memiliki signifikansi numerologis serta ditemukan dalam berbagai konteks mitologis, fisika, bahkan dalam desain bola golf.
Konsep waktu dan siklus penciptaan-distrusi (kalpa) dijelaskan, dengan penekanan pada perubahan dalam keinginan manusia terhadap ketuhanan selama berbagai Yuga. Setiap Yuga memiliki karakteristiknya sendiri, mulai dari Satya Yuga yang penuh kebenaran hingga Kali Yuga dipenuhi dengan kekacauan serta kebingungan spiritual.
Dibahas juga mengenai perbandingan antara para dewa (sura) yang cenderung baik serta asura yang memiliki sifat pencemburu dan egois. Konsep Dharma (kewajiban) melawan Adhama (keburukan) diuraikan, serta peran penting manusia dalam menciptakan keseimbangan di alam semesta.
Tulisan ini juga menyajikan pemahaman esoteris mengenai Yuga, dengan analogi bahwa empat Yuga juga terdapat dalam diri manusia, masing-masing terkait dengan organ indera. Penekanan pada praktik spiritual seperti trataka juga pranayama, sebagai cara menghadapi perubahan kualitas waktu dari satu Yuga ke Yuga lainnya.
Keseluruhan, tulisan ini memberikan wawasan mendalam mengenai konsep waktu, serta spiritualitas dalam mitologi Hindu, mengeksplorasi hubungan antara manusia, dewa, dan asura dalam dinamika siklus Yuga.