Suara Agung atau Nada Brahman, adalah pusat dari Yoga Kundalini. Dalam setiap nada akan terdengar panggilan menuju keilahian, membimbing menuju kesadaran lebih tinggi.
Dalam setiap kata, pembaca akan dihadapkan pada pengalaman yang merangsang pikiran, serta menggetarkan jiwa, menjelajahi konsep-konsep luas mengenai suara, musik, serta spiritualitas. Kami berharap tulisan ini mampu memberikan gambaran, juga pemahaman mendalam, mengenai hubungan tak terpisahkan antara manusia, serta keilahian, melalui medium indah nan abadi, yaitu getaran suara. Selamat menikmati perjalanan spiritual!
1. Makna Bunyi dan Kesadaran dalam Praktik Nada Yoga
Segala sesuatu yang mempunyai suara mengandung shakti, dan semua shakti mempunyai suara yang terhubung dengannya. Sedangkan yang absolut itu sendiri diam, karena tidak memiliki kualitas apa pun. Itulah sebabnya, menggapa tidak ada Bija Mantra untuk Dewa Siwa. Siwa tidak memiliki melodi pada-Nya, Dia adalah irama murni, bapaknya musik. Oleh karena itu, menggapa Siwa selalu digambarkan sedang membawa damaru, atau gendang kecil berkepala dua. Ini adalah alat musik pertama, yang diciptakan.
Laya memiliki arti irama, juga pembubaran. Sedangkan Pralaya, memiliki arti pembubaran alam semesta secara periodik, atau kembalinya segala sesuatu ke Pralaya (irama pertama). Pra (prathama, pertama) laya (irama) irama pertama, adalah Tuhan yang Absolut. Bunyi “Om” merupakan bunyi pertama ketika penciptaan dimulai, serta sebagai suara terakhir yang menghilang pada saat Pralaya. Bahkan setelah seluruh melodi alam semesta termanifestasi telah lenyap sama sekali, namun iramanya masih tetap ada, mula-mula sebagai Anuswara, selanjutnya berubah sebagai bindu (suara tidak bisa diucapkan).
“Nada Yoga adalah seni menyelami kesadaran kosmis melalui getaran suara, membawa kesatuan dengan alam semesta melalui harmoni aliran dari bunyi-bunyian.”
Dalam ikonografi, Siwa memakai bulan sabit di dahi-Nya. Dalam abjad Sansekerta, tanda anuswara disimbolkan bulan sabit. Makna dari bulan sabit tersebut adalah, tanda eksternal dari kesadaran internal Siwa, tanda bahwa kesadaran-Nya penuh dengan Nada, dan apabila memuja-Nya, maka pikiran dari individu bersangkutan juga akan dipenuhi oleh Nada. Ini memungkinkan kesadaran dari individu untuk mengikuti suara itu menuju kembali ke anuswara, selanjutnya menuju bindu atau sumber suara.
Sedangkan sosok banteng yang ditunggangi oleh Dewa Siwa, memiliki arti “go” dalam bahasa Sansekerta berarti “suara” juga “organ indera.” Hal ini menunjukkan bahwa Dewa Siwa mengendarai seluruh indera-Nya, beliau juga mengizinkan seluruh indera-Nya berfungsi sebagiamana mestinya, namun dengan mengendalikan seluruh gerakannya secara sempurna, melalui bantuan Nada.
Bindu adalah sumber segala bunyi, dalam diri manusia itu berasal dari niat, sedangkan puncaknya pada suara vokal. Laya melibatkan penarikan semua proyeksi kita ke bindu, atau sumbernya. Suara dimulai dengan Para, lalu berlanjut melewati Pashyanti, dan Madhyama, kemudian mencapai Vaikhari membentuk suara verbal. Inilah langkah Pravrtti, penciptaan. bila kita ingin menggunakan suara untuk mengikuti langkah nivrtti, atau langkah kembali ke sumbernya, maka kita harus memulai dari tempat kita berdiri yaitu, di Vaikhari, dan secara bertahap menyempurnakan kesadaran, untuk bergerak kembali melalui Madhyama, Pashyanti lalu ke Para, serta berakhir di bindu.