6. Kosmik Keibuan: Kasih Sayang Ibu dalam Perspektif Kosmis
Kami lebih menyukai memanggil istri Dewa Siwa dengan panggilan Uma, bila dibandingkan Parwati atau salah satu nama-Nya yang lain. Karena kata ‘Uma’ terdiri dari huruf yang sama untuk membentuk kata ‘Om’, atau Aum. Uma sendiri tidak secara inheren berbeda dari Aum, sama seperti Shakti tidak berbeda dari Siwa, mereka hanya berbeda di bentuk. ‘U’ adalah singkatan dari Wisnu, Sang Pemelihara. Oleh karena itu, ‘Uma’ adalah ‘U’ + ‘Ma’, memiliki arti Ibu yang Selalu Melindungi, melindungi anak-anaknya dari bahaya, atau musibah apapun. Adakah kasih sayang lebih kuat, dari sayang seorang ibu? semua orang mampu mencapai Uma, bila mau belajar bagaimana cara mencintai-Nya.
Bila ingin belajar bagaimana cara mencintai Ibu, maka harus belajar bagaimana mencintai segala Ciptaan-Nya. Setiap makhluk memiliki variasi cintanya masing-masing, beberapa di antaranya bahkan tidak bisa dipahami oleh manusia. Menurut kami pribadi, batu memiliki bentuk cinta terbaik, karena batu itu sangat stabil, serta kokoh. Begitu batu mulai mencintai, mereka tidak akan pernah berubah. Sebuah batu memiliki bentuk ekspresinya tersendiri, mungkin tidak bisa dipahami oleh manusia. Misalnya, ketika dipanaskan dalam suhu tertentu, maka batu mulai lumer, dan memberikan persembahan kehangatan serta cahaya kepada kita. Berapa banyak orang mengerti, bagaimana mencintai batu? Sangat sedikit, tapi bagi mereka yang mengetahuinya, tentunya mengetahui bagaimana cara mencintai ibu.
Para yogi dan pertapa sendiri tidak luput dari racun ahamkara. Demikian pula ketika melakukan sadhana intens, serta mengembangkan kebaktian, seperti dilakukan oleh orang-orang suci tersebut. Itu bukanlah jaminan, bahwa ahamkara akan bisa dikontrol sepenuhnya. Selama masih mempertahankan keberadaan pribadi, maka ahamkara terus mengidentifikasi dengan kepribadian diri, bahkan pada tingkat paling kecil. Bahkan satu pemikiran kecil tentang “aku” atau ‘milikku’, ini sudah cukup untuk menghancurkan segalanya.
Lalu bagimana cara agar ahamkara tersebut tidak menghancurkan praktisi spiritual?, jawabannya adalah selalu serahkanlah diri pada Tuhan. Menawarkan segala sesuatu yang dimiliki kepada-Nya, termasuk keberadaan diri. Bila persembahan tersebut jujur, maka Tuhan akan menerimanya, serta akan mengarahkan ke jalan yang lurus sejak saat itu, selama manusia selalu mengingat-Nya. Namun ingat saat manusia mulai melupakan Tuhannya, maka mereka kembali ke langkah awal.
Inilah faktanya, bahwa lebih mudah berserah diri kepada Tuhan berwujud, daripada berserah diri pada Tuhan dalam wujud kosmis. Mengapresiasi luasnya kosmos merupakan hal baik, juga bagus, namun bagaimana bisa untuk meraihnya, serta menyukainya? tentu tidak bisa, tapi kita bisa selalu menggenggam tangan para dewa, juga mencintai-Nya.